--> Skip to main content

Belajar jadi ayah yang baik

Belajar jadi ayah yang baik
Belajar jadi ayah yang baik
Ayah.

Dibesarkan oleh ayah yang notabene kerja utamanya mencari nafkah. Segala kebutuhan ayah dipenuhi oleh ibu. 

Mengurus anak, sepenuhnya hak perogatif ibu. Ayah hanya 'hadir' jika yang diperlukan izin dan uang. 

Giliran menjadi ayah, mendadak harus hadir dalam kehidupan anak, jago ngomong, bisa merangkul, ditugasi untuk meyelesaikan masalah yang ibu sudah menyerah melakukannya, ikut mempersiapkan baligh dan terlibat segala sesuatunya.

Ini gimana ceritanya???

Contohnya ngak pernah ada. Ngak pernah tahu bagaimana seharusnya jadi ayah seperti yang diharapkan itu. 

Lalu belajar darimana? 
Kapan belajarnya? 
Bagaimana latihannya?

Ya sekarang!
Mau gimana lagi?!

Zaman sudah berubah.. perubahannya cepat sekali. Tak pernah kita bayangkan, mendadak harus menjadi orang tua yang berwawasan sesuai kebutuhan zaman. 

Kirain, cukup sarjana, menikah, lalu punya anak. Ya hal yang normal lah. Ternyata.. kaget. Shock. Banyak bener yang digantungkan pada pundaknya. Banyak sekali yang harus dipelajarinya. Sementara waktu berjalan terus, anak membesar dan tidak menunggu kita mampu. Banyak kesalahan pengasuhan yang diketahui, hanya ketika waktunya sudah lewat. 

Aaarrrggghh...!!!!

Lebih sering dari pada tidak, si ibu sudah terlalu lelah dengan keseharian. Sehingga ketika sang ayah pulang, seakan si ibu tidak sabar-sabar membagi beban atau bahkan mengalihkan sepenuhnya. 

Sebetulnya ini adalah bahtera yang diarungi berdua. Kedua-duanya harus senantiasa melengkapi diri, memantaskan diri, selalu mencari ilmu lagi.. untuk menjadi orang tua yang terbaik untuk masa ini. 

Dua orang yang bergelar 'ayah dan ibu' ini, harus sering sering duduk berdua. 

Mempelajari lagi tujuan pengasuhan mereka. 

Menambahi yang kurang. 

Membetulkan yang salah. 

Meluruskan yang miring sebelah. 

Membagi tugas lagi. Siapa yang melakukan apa. 
Mengevaluasi. 

Lagi, dan lagi, dan lagi. 

Sampai kapan?

Ya sampai lelah. Karena kehidupan ini, pilihan anda berdua. Sampai Allah mengatakan 'cukup sudah'.. 'habis waktunya'.😔

Kita sama- sama belajar lagi. 

Tapi, sesungguhnya, pembelajaran ini, bebannya lebih berat ke ayah. Karena semenjak ia menjabat tangan wali calon istrinya, sejak itu pula, perempuan itu dan segala yang berkaitan dengannya, menjadi tangungannya. 

Bukan hanya sekedar nafkah, tapi pendidikan, pembimbingan dan kasih sayang. 

Bagaimana seorang istri harusnya menjadi istri dan ibu, seharusnya, si suami yang tahu. 
Sang suami tak boleh lelah menuntut ilmu. Memperbaiki diri. Belajar lagi. 
Menyusun konsep keluarga.
Arah tujuan pengasuhan.
Silabus dan kurikulum yang jelas, sehingga para istri tinggal mengikuti, sesuai yang sudah dialurkan oleh sang suami.

Tapi .. yang terjadi sekarang ini disekitar kita adalah: karena si ibu yang terekspos pada pengasuhan harian, maka si ibu jalan sendiri, merasa lelah sendiri, mencari tahu sendiri, tercerahkan sendiri, lalu sadar, ini kerja berdua.. dan kemudian mengajak sang suami belajar bersama. 

Ada suami yang mau ikut, setengah ikhlas, dipaksa, diancam, malah diseret dan langsung didaftarkan pada acara acara parenting yang ada. 🤭

Mana kesadaran bahwa keluarga ini adalah tanggung jawabnya sepenuhnya? 
Bahwa ia lah sang pembuat garis garis besar pengasuhan keluarga?
Apakah ia sadar, bahwa diatas nafkah, ini juga berat bebannya?
Bukankah begitu juga menurut agama? 
Bahwa tugasnyalah mendidik, mengatur dan berusaha.. agar keluarga ini selamat di dunia dan masuk syurga bersama.

Namun..

Balik lagi ke pembahasan diatas tadi. 

Bagaimana ia harus tahu? 
Apakah ayahnya pernah mengajarkannya tentang ini?
Apakah ada kajian kajian yang dia ikuti di masa mudanya yang membahas tentang ini?
Buku?
Lingkungan?
Saudara dekat? Om? sepupu? Abang? 
Apakah mereka pernah membahas tentang ini padanya? 

Jadi bukan salah mereka sepenuhnya. 
Namun harapannya, dengan ini bisa membuka mata. Parenting is a life long learning. Belajar seumur hidup. 

Ayo bangkitkan semangat! Bangkitkan keghirahan pada ayah.. bahwa sebetulnya, inilah tugas mulianya.

Betapa banyak anak-anak yang sudah dewasa, tapi tetap kehilangan figur ayahnya. Lalu, ia diharapkan menjadi ayah yang seperti apa kedepannya? 

Yang hanya menyapa jika menyuruh dan menasehati saja? Yang melengkapi kebutuhan fisik anak namun lupa memeluk jiwanya?

Membetulkan diri dan pasangan.
Berbenah lagi dan lagi. 
Mengatur lagi dan lagi. 

Jangan marah jika pasangan mengingatkan kekurangan kita. Karena sejatinya, merekalah yang paling tahu dan merasakan efeknya. Perhari. 
Yang mengingatkan, juga hati hati menggunakan bahasa. 
Dimana-mana, yang namanya diingatkan ya ngak enaklah.

Jadi.. tulisan ini, sekedar pengingat diri. 
Parenting itu.. urusan sampai mati..
Bahkan sampai setelah mati. 
Harus selalu dievaluasi.. berkala, lagi dan lagi. 
Dibetulkan.
Ditambah..

Hingga tiba waktunya 
Istirahat selama-lamanya. 
Tinggal memetik hasil yang ditanamkan selama ini. 

Pasti lelah
Harus Lillah.
Agar bermakna.
Agar ada berkahnya 

Mari terus belajar bersama, bergandeng tangan, perkuat doa, perpanjang sujud, berlapang dada, menangis, tertawa bersama. 
 
Semua ini akan ada batasnya.❣️
Semangat ayah ! Ibu menunggu darimu GARIS GARIS BESAR HALUAN KELUARGA ❣️

21 Maret 2019
Wina Risman
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/2290162824571883/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar